Oleh: H. Iswan Kurnia Hasan, Lc. MA.
Dalam bahasa Arab, ketika ingin menegaskan sesuatu yang disampaikan kepada orang lain akan menggunakan bentuk taukîd. Dalam bahasa Indonesia disebut afirmasi. Ada dua jenisnya: penegasan dalam bentuk pengulangan kata yang sama, disebut taukîd lafdziy dan penguatan dari segi makna, dengan menggunakan kata yang berbeda, tapi sama maknanya. Disebut taukîd ma’nawiy.
Taukîd bertujuan untuk menguatkan maksud yang ingin disampaikan. Sehingga bisa sampai kepada lawan bicara dengan jelas. Atau membuat lawan bicara lebih fokus dan perhatian terhadap apa yang disampaikan. Serta tidak melupakannya. Apa yang disampaikan menggunakan bentuk taukîd berarti sesuatu yang serius dan sangat penting.
Ada sebuah matan hadis, yang bentuknya seperti taukîd. Karena diulang Rasulullah sebanyak tiga kali, dalam satu proses manasik Haji Wada’. Sekalipun lokasi dan waktunya berbeda-beda. Seakan Rasul ingin berpesan bahwa apa yang disampaikannya adalah sesuatu yang begitu penting, sangat serius dan tidak boleh dilupakan.
Ketika diulang-ulang saat Haji Wada’ atau haji perpisahan di tahun 10 Hijriah, saat Rasulullah sudah dekat dengan ajalnya, berarti matan hadis tersebut menjadi wasiat terakhir bagi umat Islam. Wasiat yang sangat utama dalam menjalani kehidupan.
Pertama kali, matan disampaikan di hadapan 144 atau 124 ribu jamaah haji saat Wukuf di Arafah. Dalam hadis riwayat Muslim, sahabat Jabir ra., menceritakan proses khutbah Rasulullah di Padang Arafah. Kata Jabir, “Saat matahari telah tergelincir, Rasulullah meminta ontanya Al-Qashwâ untuk membawanya ke tengah padang Arafah, lalu beliau berkhutbah, “Sesungguhnya darah-darahmu, harta-hartamu, haram bagimu seperti haramnya hari ini, bulan ini, dan tanah ini”.
Rasulullah Saw. lalu mengulangi kalimat yang sama saat penyembelihan hewan qurban setelah salat Idul Adha. Dalam hadis riwayat Bukhari disebutkan, saat matahari beranjak ke waktu dhuha di Mina, Rasulullah menyampaikan khutbah di atas ontanya. Abu Bakrah ra. yang meriwayatkan hadis ini mengatakan bahwa Rasulullah memulai khutbahnya dengan kalimat tanya, “Apakah kalian tidak tahu hari apa ini” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.
Kata Abu Bakrah, “Saat itu kami mengira beliau akan menyebut nama yang lain”. Beliau lantas bersabda, “Bukankah hari Qurban?” Kami pun membenarkannya”. Rasul kembali bertanya, “Wilayah apakah ini? Bukankah Tanah Haram?” Kami kembali membenarkannya. Beliau kemudian menegaskan, “Sesungguhnya darah-darahmu, harta-hartamu, kehormatan-kehormatanmu, kemanusiaan-kemanusiaanmu, statusnya haram. Sama dengan haramnya hari ini, haramnya bulan ini dan haramnya tanah ini”. Beliau kemudian bertanya, “Apakah aku telah menyampaikan (amanah)?” Kamipun kembali membenarkannya.
Rasul kembali berkhutbah, “Ya Allah saksikanlah. Lalu hendaknya yang menyaksikan (khutbah) bisa menyampaikan kepada yang tidak hadir. Beliau lantas berpesan, “Jangan sekali-kali kalian kembali kepada kekafiran, sehingga seorang memenggal kepala orang lain.”
Kali ketiga, Rasulullah mengulangi kalimat yang sama saat hari Tasyriq. Tepatnya pada tanggal 12 Dzulhijjah tahun 10 Hijriah. Imam Abu Dawud meriwayatkan hadis dari seorang sahabat wanita bernama Sarra’ Binti Nabhan, yang berprofesi sebagai pembantu rumah tangga. Ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda saat Haji Wada’, “Apakah kalian mengetahui hari apa ini?” Para sahabat menjawab, “Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui” Lalu beliau bersabda, “Bukankah hari ini pertengahan Hari Tasyriq?”
Rasul kembali bertanya, “Apakah kalian mengetahui wilayah apa ini?” Para sahabat menjawab, “Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui”. Beliau lalu bersabda, “Ini wilayah Al-Masy’ar al-Harâm (sebuah kawasan sepanjang empat kilometer yang terletak antara Arafah dan Mina. Termasuk di dalamnya Muzdalifah). Aku tidak mengetahui, apakah masih sempat bertemu lagi dengan kalian setelah ini. Ketahuilah, sesungguhnya darah-darahmu, harta-hartamu, kehormatan-kehormatanmu, juga haram. Sama seperti haramnya hari ini, dan haramnya wilayah ini. Sampai kalian bertemu dengan Rabbmu nanti, dan akan ditanya tentang amalmu. Apakah aku telah menyampaikan?” Setelah itu beliau kembali ke Madinah dan tidak lama berselang, beliau kemudian wafat.
Di tiga waktu yang berbeda: tanggal 9, 10 dan 12 Dzulhijjah. Di tiga kesempatan yang berbeda: saat Wukuf di Arafah, Hari Qurban dan Mabit di Mina, Rasulullah selalu mengulang kalimat yang sama, “Sesungguhnya darah-darahmu, harta-hartamu, kehormatan-kehormatanmu, sama haramnya dengan hari ini, tanah ini dan bulan ini”.
Rasulullah Saw. ingin menegaskan bahwa keutamaan menjaga Padang Arafah sebagai Tanah Haram, sama utamanya dengan menjaga darah manusia agar tidak tertumpah. Keutamaan bulan Dzulhijjah sebagai bulan yang diharamkan, sama dengan haramnya mengambil harta manusia dengan cara yang tidak benar. Dan keutamaan Hari Arafah sebagai hari yang suci, hari saat Allah membebaskan banyak manusia dari siksa neraka, sama halnya dengan kesucian seorang manusia.
Rasulullah Saw. berpesan bahwa harta, darah dan kehormatan manusia di hadapan Allah dan Rasul-Nya disamakan keagungannya dengan Tanah Haram. Sama mulianya dengan Hari Arafah. Sama haramnya dengan bulan Dzulhijjah.
Pesan Rasulullah ini semakin menarik, karena disampaikan pada saat pelaksanaan Haji Wada’. Para ahli sirah mengatakan bahwa khutbah Rasul saat Haji Wada adalah khutbah perpisahan. Isi khutbah merupakan wasiat-wasiat utama bagi umat manusia yang harus selalu dikenang sepanjang masa. Karena Rasulullah tahu umurnya akan segera berakhir. Maka hal-hal pokok dalam Islam yang diwasiatkan. Wajar kiranya setelah khutbah Rasul itu, Allah lalu menurunkan firman-Nya yang terakhir. Tidak ada lagi ayat yang turun setelahnya.
Target dari pesan Rasul ini secara khusus disampaikan bagi semua jamaah haji yang sedang melaksanakan manasik, dan secara umum bagi seluruh umat Islam sampai hari kiamat.
Seakan Rasul ingin mewasiatkan jangan hanya fokus kepada Tanah yang diharamkan. Seperti Masjidil Haram di Mekkah, Masjid Nabawi di Madinah, atau Padang Arafah. Jangan hanya serius menjaga tradisi Bulan Haram. Seperti bulan Dzulhijjah, atau bulan-bulan Haram lainnya. Sehingga lebih hati-hati dalam berbuat. Karena kebaikan meningkat pahalanya dan keburukan bertambah dosa. Jangan hanya perhatian terhadap Hari Arafah. Sampai menyiapkan doa khusus yang khusyuk agar terbebas dari neraka. Atau melaksanakan Qurban saat Idul Adha dan hari-hari Tasyriq.
Lalu kita melupakan seorang manusia, yang senantiasa kita temui. Baik saat haji maupun tidak. Baik di Tanah Haram maupun di Indonesia. Baik di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, atau manusia yang kita temui saat melaksanakan salat di masjid-masjid kampung kita. Manusia juga Haram! Sama seperti Haramnya bulan Dzulhijjah. Manusia juga harus dijaga kesuciannya, sama seperti sucinya Padang Arafah. Dan manusia juga utama, sama seperti keutamaan Hari Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah.
Kita bisa masuk surga dengan melaksanakan wukuf di Arafah saat manasik. Kita bisa masuk surga dengan melaksanakan puasa sunnah Arafah. kita bisa masuk surga dengan berkurban. Kita bisa masuk surga dengan puasa di hari Asyura. Kita bisa masuk surga dengan mendekatkan diri kepada Allah saat bulan Muharram, Rajab, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah. Tapi ingat. Kita juga bisa masuk surga lewat media seorang manusia.
Dalam sebuah hadis dari sahabat Abu Hurairah ra., Rasulullah pernah ditanya, “Perkara apakah yang menjadi sebab paling dominan seseorang bisa masuk ke dalam surga?” Beliau menjawab, “Taqwa kepada Allah dan akhlak yang baik (kepada manusia)”. Lalu Rasul kembali ditanya tetang sebab utama manusia masuk ke dalam neraka. Beliau menjawab, “Karena lisan dan kemaluan” (HR. Tirmidzi).
Leave A Comment