Oleh: H. Iswan Kurnia Hasan, Lc.MA.
 
 
Allah Swt. memiliki cara tersendiri mengistimewakan sebuah tempat. Diantaranya dengan membuat statuta haram. Maksud ‘haram’ di sini bukan terkait dengan hukum taklîfiy, yang berarti mengerjakan sesuatu mendapat dosa dan meninggalkannya akan mendapat pahala. Tapi haram dengan nomenklatur yang khusus.
 
Seperti statuta haram di Mekkah. Para ulama menyebutnya dengan istilah al-Haram al-Makky. Dalam sebuah hadist riwayat Imam Bukhari, dari sahabat Abdullah bin ‘Abbas ra., Rasulullah pernah bersabda saat Fath Makkah, “Tidak ada lagi hijrah (setelah Fath Makkah), kecuali jihad dan niat. Apabila kamu diajak berjihad, maka penuhilah panggilan itu. Sesungguhnya negeri ini telah diharamkan Allah sejak penciptaan langit dan bumi. Negeri ini diharamkan Allah sampai hari kiamat. Tidak dihalalkan berperang di dalamnya bagi orang sebelumku. Tidak dihalalkan juga bagiku, kecuali beberapa saat di siang hari. Negeri ini tetap diharamkan Allah sampai hari kiamat. Tidak boleh memotong duri di pohonnya. Tidak boleh memburu binatangnya. Tidak boleh diambil barang temuan ditanahnya, kecuali bagi yang ingin menginformasikannya. Tidak boleh mencabut rumputnya. Al-Abbas kemudian bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah dikecualikan rumput ilalang? karena bisa digunakan untuk pandai besi dan pembangunan rumah”. Rasul lalu menjawab, “Kecuali rumput ilalang”.
 
Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, maksud negeri yang diharamkan dalam hadis ini adalah Masjidil Haram, lalu masjid yang ada di sekitarnya, dan semua wilayah yang masuk Tanah Haram di Mekkah. Imam Nawawi menambahkan makna yang keempat, yaitu Mekkah.
 
Makna Haram yang disematkan dalam hadis, karena ada beberapa hal yang tidak boleh dilakukan di dalamnya sampai hari kiamat. Seperti memotong tanaman yang tumbuh di atas tanahnya; memburu binatang yang masuk dalam wilayahnya; atau mengambil barang tercecer dan milik orang lain. Kecuali dengan niat untuk mengembalikan kepada pemiliknya.
 
Diharamkan pula berperang dan menumpahkan darah. Kecuali jika ingin menegakkan hukum, bagi yang melanggar dalam wilayah yang diharamkan. Seorang non muslim juga diharamkan masuk ke dalamnya.
 
Ulama empat mazhab juga bersepakat bahwa kebaikan yang dilakukan di Tanah Haram Mekkah, pahalanya akan berlipat ganda. dibanding tempat lain. Sebab dalam surat Ali Imran ayat 96, Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya rumah (ibadah) yang pertama dibangun untuk manusia yaitu (Baitullah) di Mekkah, yang diberkahi, dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam”. Menurut Imam al-Qurthuby, berkah artinya kebaikan yang melimpah. Bila Mekkah diberkahi, berarti Allah menyiapkan kebaikan yang melimpah di dalamnya. Sebuah amal kebaikan yang dilakukan di Mekkah, akan berlipat ganda pahalanya di sisi Allah Swt..
 
Begitu pula sebaliknya, amal buruk yang dilakukan dalam batas wilayah Haram di Mekkah, dosanya juga berlipat ganda. Sesuai dengan kesepakatan para ulama. Sekalipun maksud dosa yang berlipat ganda, ada dua penafsiran. Penafsiran pertama adalah jumlah dosa yang tambah berlipat-lipat. Ini pendapat mayoritas ulama dari kalangan mazhab Hanafi, Hambali dan Syafi’i.
 
Sementara menurut ulama lain siksanya yang lebih berat. Sekalipun dosanya tidak berlipat. Berdusta misalnya. Bagi yang melakukannya di Tanah Haram, maka akan mendapatkan siksa yang lebih berat di hari kiamat, dibanding berdusta di wilayah lain.
 
Ketika menafsirkan surat Al-Hajj ayat 25, “…Dan barang siapa yang bermaksud melaksanakan kejahatan secara zalim di dalamnya (masjidil Haram) maka akan Kami berikan azab yang pedih”, Imam al-Qurthuby menukil pendapat Adh-Dhahak dan Zaid yang menyatakan bahwa hanya sekedar niat melaksanakan maksiat di Mekkah, langsung mendapatkan dosa. Sekalipun tidak dilaksanakan.
 
Tidak semua wilayah yang masuk dalam bagian Propinsi Mekkah saat ini, yang luasnya mencapai 164.000 km2, masuk dalam kategori Tanah Haram. Hanya sebagian kecil saja yang ditandai dengan tapal batas.
 
Menurut DR. Fawaz Ali bin Junaidib Ad-Dahas selaku Ketua Pusat Studi Sejarah Mekkah, Nabi Adam as. yang pertama kali merintis tapal batas Tanah Haram. Disebutkan dalam satu riwayat bahwa Nabi Adam as. takut setan akan kembali mengganggunya di atas bumi. Maka ia meminta perlindungan kepada Allah Swt.. Malaikat Jibril lalu diutus Allah turun ke atas muka bumi untuk membarikade Mekkah dari berbagai sisi.
 
Saat Nabi Ibrahim as. membangun Ka’bah, Allah Swt. kembali mengirim para malaikat untuk menjadi pengawal dan penjaga di batas-batas Tanah Haram, agar setan dan jin tidak bisa masuk ke Mekkah. Sehingga Ibrahim as. bisa menyelesaikan pembangunan Ka’bah.
 
Senada dengan DR. Ad-Dahas, menurut Al-Azraqy dalam kitab Akhbâr Makkah, Husain bin al-Qasim pernah mendengar beberapa ulama yang menceritakan ketika Nabi Ibrahim meminta, “Tunjukkanlah kami tata cara melaksanakan ibadah haji” (QS. Al-Baqarah: 128), malaikat Jibril langsung turun dan memberikan petunjuk batas-batas Tanah haram kepadanya. Ibrahim kemudian memberikan tanda dengan batu dan pasir. Malaikat Jibril tetap berada disampingnya untuk menuntun Ibrahim sampai semua batas wilayah haram telah ditandai.
 
Kemudian di zaman Rasulullah Saw. tanda batas Tanah Haram kembali dirintis setelah peristiwa Fath Makkah. Karena orang Quraisy telah mencabut dan menghilangkan batasnya. Diriwayatkan Abu Nu’aim dari sahabat Ibnu Abbas ra. bahwa Rasulullah Saw. pernah mengutus Tamim bin Asad al-Khuza’iy untuk membuat batas-batas Tanah Haram. Setelah Rasulullah Saw. wafat, batas-batas tersebut kemudian direnovasi kembali oleh para khalifah setelah beliau.
 
Batas Tanah Haram ini juga dipertegas oleh para ulama. Agar warisan yang telah ada sejak zaman nabi pertama, sampai nabi terakhir, tidak hilang begitu saja seiring zaman. Seperti yang disampaikan oleh Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’, batas Tanah Haram dari arah Madinah ujungnya di Tan’im. Tepatnya di pemukiman Bani Nafâr. Dari arah Yaman di Adhât Labn (sebuah Kawasan perbukitan yang warnanya menyerupai susu). Kalau dari arah Thaif, ujungnya di Padang Arafah. Dari arah Irak tepatnya di ketinggian gunung al-Maqtha’. Dan dari arah Ji’ranah di perkampungan keluarga Abdullah bin Khalid”.
 
Secara geografis menurut DR. Ad-Dahas, Tanah Haram di Mekkah adalah kawasan yang terletak di tengah dataran. Diapit oleh dua gunung di sisi barat dan timur. Dibelah oleh lembah yang memanjang dari utara ke selatan. Jadi bentuk wilayahnya seperti bulat telur. Kurang lebih ada 1104 tapal batas yang tersebar di gunung maupun lembah. Tapal batas yang ada di gunung sangat unik dan ajaib. Bentuknya tumpukan batu yang dibuat sedemikian rupa sehingga memiliki sisi miring di sebelah kanan dan kiri. Bila dituang air di atasnya, air yang mengalir ke kiri menunjukkan wilayah yang diharamkan. Sementara air yang mengalir ke kanan menunjukkan wilayah yang dihalalkan.
 
Kalau mau diukur, panjang kawasan Tanah Haram Mekkah sekitar 127 km dan lebar 550 km, dengan titik epicentrum dimulai dari Hajar Aswad. Bila disesuaikan dengan kondisi saat ini dengan menggunakan GPS, maka dari arah barat batasnya di Asy-Syumaisi (Hudaibiyah). Bila melewati jalan tol Jeddah menuju Mekah, jaraknya kurang lebih 21 kilometer bila diukur dari dinding Masjidil Haram sebelah barat. Dari arah tenggara batasnya di Padang Arafah. Tepatnya di masjid Namirah. Kalau melewati jalan Al-Laits yang baru, kurang lebih 20 kilometer dari dinding Masjidil Haram sebelah selatan. Dari arah utara batasnya di Tan’im. Tepatnya di Masjid Umroh. Kalau dari jalan menuju Madinah, kurang lebih 14,6 kilometer dari dinding Masjidil Haram sebelah utara. Sementara batas timur kalau dihitung dari jalan tol As-Sâil Ath-Thâif kurang lebih 13,7 kilometer dari dinding Masjidil Haram sebelah timur. Lebih mudah batasnya adalah di Ji’ranah. Tapi posisi Ji’ranah berada di timur laut. Titik epicentrum atau kilometer nol dimulai dari Hajar Aswad.
 
Saat ini, batas tanah Haram di Mekkah ditandai dengan bangunan permanen. Semacam Menara kecil yang diberikan tulisan khusus. Baik menggunakan bahasa Arab atau bahasa asing.
 
Tempat kedua adalah Tanah Haram yang berada di Madinah. Para ulama menyebutnya dengan al-Haram al-Madaniy. Statuta haramnya disebutkan dalam sebuah hadis Zaid bin ‘Ashim ra., Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Sesungguhnya Ibrahim telah mengharamkan Mekkah dan mendoakan penduduknya. Maka aku juga mengharamkan Madinah, sebagaimana Ibrahim mengharamkan Mekkah. Dan aku berdoa agar setiap sha’ dan mudnya diberkahi dua kali lipat, dibanding apa yang didoakan Ibrahim untuk penduduk Mekkah.” (HR. Muslim)
 
Statuta Tanah Haram di Madinah agak berbeda dengan Tanah Haram yang berada di Mekkah. karena dalam hadis riwayat Imam Muslim dari sahabat Jabir ra., Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Sesungguhnya Ibrahim telah mengharamkan Mekkah. Dan aku mengharamkan Madinah di antara dua wilayah tanah hitamnya. Tidak boleh dipotong tanamannya dan tidak boleh dibunuh hewan buruannya”.
 
Dari hadis ini, jumhur ulama dari Mazhab Syafi,i, Maliki dan Hambali berpendapat bahwa Tanah Haram di Madinah terbagi ke dalam dua hal. Haram asy-Syajar, atau haram untuk merusak tanaman yang tumbuh di atasnya dan Haram ash-Shaid atau haram untuk membunuh binatang yang hidup di tanahnya. Sementara Mazhab Hanafi hanya mengharamkan untuk membunuh binatang. Memotong tanaman di Tanah Haram Madinah masih dibolehkan. Namun sama seperti Mekkah, para ulama bersepakat bahwa Tanah Haram di Madinah juga tidak boleh dimasuki oleh non muslim.
 
Hadis Jabir ra. di atas juga mengungkap batas Tanah Haram. Yaitu satu wilayah yang terbentang antara dua tanah hitam yang berada di Timur dan Barat Madinah. Adapun batas utara dan selatan terletak di antara gunung ‘Air dan gunung Tsaur.
 
Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim, Yazid bin Syuraik pernah melihat Ali bin Abi Thalib ra. berkhotbah di atas mimbar sambil membentangkan sebuah lembaran. Salah satu isinya adalah sabda Rasulullah Saw., “Madinah adalah Tanah Haram antara (gunung) ‘Air dan (gunung) Tsaur. Siapa yang melakukan bid’ah di dalamnya, atau melindungi yang melakukan bid’ah, maka baginya laknat dari Allah, malaikat dan seluruh manusia. Allah juga pada hari kiamat tidak akan menerima ibadah dan tebusannya”.
 
Batas Tanah Haram Madinah saat ini dapat dengan mudah dikenali lewat tugu-tugu yang telah dibuat. Tertulis di tugu tersebut ‘batas tanah haram’ menggunakan bahasa Arab dan Inggris.
 
Batas Tanah Haram di Madinah sempat akan diubah atas usulan beberapa ulama berdasarkan penelitian baru. Namun Dewan Ulama Senior merekomendasikan agar tidak dirubah. Karena batas tersebut berdasarkan hadis yang sahih. Raja Abdullah lalu mengamini keinginan Dewan Ulama Senior dan tidak merubah tapal batas tersebut.
 
Tanah Haram, baik di Mekkah maupun Madinah, selain tidak bisa dimasuki oleh Dajjal, juga memiliki keistimewaan yang lain. Dalam sebuah hadis dari sahabat Abu Hurairah ra., Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Satu kali salat di masjidku (Masjid Nabawi) lebih baik daripada seribu kali salat di tempat lain, kecuali Masjidil Haram. Dan satu kali salat di Masjidil Haram lebih utama dari pada seratus kali salat di masjidku” (HR. Ahmad).
 
Statuta haram yang melekat di Mekkah dan Madinah menunjukkan bahwa Islam bukan hanya menjaga dan mementingkan manusia sebagai mahkluk utama di atas muka bumi ini. Islam juga memperhatikan binatang, tumbuhan, bahkan tanah, dan menjaganya selama empat belas abad. Dan terus berlanjut sampai hari kiamat. Hanya sekedar membunuh nyamuk dan lalat dilarang. Hanya sekedar mematahkan duri dari tanaman tidak dibolehkan. Apalagi merusaknya. Islam telah lebih dulu dan terdepan dalam isu lingkungan, sebelum ada gerakan mencintai alam, back to nature atau isu global warming yang mulai merebak di akhir abad 20.