Oleh: H. Iswan Kurnia Hasan, Lc.MA.
 
 
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Jabir ra., Rasulullah Saw. telah menjelaskan tentang keutamaan beberapa hari gabungan di bulan Dzulhijjah. Yaitu dari tanggal 1 sampai tanggal 10 Dzulhijjah. Rasulullah Saw. bersabda, “Hari-hari terbaik di dunia adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah”. Rasul lantas ditanya, “Apakah jihad di jalan Allah tidak menyamai hari-hari itu?” Beliau menjawab, “Tidak akan sama, bila dibandingkan dengan jihad di jalan Allah kecuali seseorang yang wajahnya bersimbah debu (gugur sebagai syahid)” (HR. Al-Bazzar).

Kalau seandainya tanggal 1 sampai 10 Dzulhijjah, adalah hari-hari utama, apakah juga kualitasnya seperti malam-malam utama di sepuluh terakhir Ramadan?

Karena di sepuluh terakhir Ramadan memiliki sebuah malam pamungkas, yang disebut lailatul qadar. Malam terbaik  dari seluruh malam yang ada dalam satu tahun penanggalan hijriah. Satu malam yang harganya sama dengan ibadah selama seribu bulan. Pertanyaannya, apakah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah juga memiliki siang yang pamungkas? Siang yang agung? Siang yang terbaik dalam satu tahun penanggalan? Siang al-Qadar? Siang yang kualitas ibadah di dalamnya seperti melaksanakan ibadah selama seribu matahari?

Syaikh al-Islâm Ibnu Taimiyah dalam buku Majmû’ al-Fatâwâ disebutkan juga pernah ditanya, “Manakah hari yang terbaik di atas muka bumi? Apakah hari Arafah, hari Jumat, Hari raya Idul Fitri atau Idul Adha?” Ibnu Taimiyah kemudian menjawab bahwa hari yang terbaik dalam satu minggu adalah hari Jumat sesuai dengan kesepakatan para ulama. Adapun hari yang terbaik dalam satu tahun adalah hari Qurban (tanggal 10 Dzulhijjah). Memang ada ulama lain yang berpendapat bahwa yang terbaik adalah hari Arafah. Namun pendapat pertama yang benar.”

Menurut Ibnu Taimiyah, bila ingin diurutkan mana siang yang terbaik? Maka jawabannya adalah hari Jumat. Tapi hanya dalam skala mingguan saja. Adapun siang terbaik dalam satu tahun diduduki oleh Yaum An-Nahr atau hari Qurban. Lebih tepatnya Hari Raya Idul Adha yang jatuh pada tanggal 10 Dzulhijjah setiap tahunnya. Kemudian hari yang sebelumnya, Hari Arafah yang jatuh pada tanggal 9 Dzulhijjah. Jadi kalau mau diurutkan: peringkat pertama adalah hari Qurban, peringkat kedua adalah hari Arafah dan yang terakhir adalah hari Jumat, karena sifatnya mingguan.

Hari Jumat menjadi utama karena didalamnya ada ibadah yang fungsinya menggugurkan dosa. Sama dengan ibadah utama lainnya dalam Islam. Seperti puasa di bulan Ramadan, atau menunaikan ibadah haji, yang juga berfungsi menggugurkan dosa. Dalam hadis riwayat Muslim dari sahabat Abu Hurairah ra., disebutkan, “Salat lima waktu, antara satu salat Jumat dengan salat Jumat yang lain, dan antara satu puasa Ramadan dengan puasa Ramadan berikutnya, berfungsi menghapuskan dosa diantaranya, selama dosa-dosa besar dijauhi”.

Di hari jumat juga ada sebuah waktu utama. Allah Swt. akan mengabulkan seseorang yang berdoa di dalamnya. Sama dengan waktu utama lainnya. Seperti berdoa di sepertiga malam terakhir yang menjadi salah satu waktu mustajab. Dalam sebuah hadis riwayat Bukhari dan Muslim, sahabat Abu Hurairah ra. meriwayatkan sebuah hadis dari Rasulullah saw., tentang hari Jumat, “Di hari Jumat, ada sebuah waktu, tidaklah seorang muslim menjumpai waktu tersebut dalam kondisi ia sedang berdiri melaksanakan salat, kecuali Allah akan memberikan apa yang dipintanya. (Rasulullah) lalu memberikan isyarat dengan tangannya, untuk menunjukkan bahwa waktu tersebut sangat sempit”.

Kondisi seseorang yang menyambut hari Jumat dengan baik juga akan mendapatkan manfaat tersendiri baginya. Sama seperti yang biasa dilakukan oleh generasi salaf saat akan menyambut Lailatul Qadar. Dalam sebuah hadis riwayat Tirmidzi, Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Barang siapa yang mandi pada hari Jumat (mandi besar) dan betul-betul mencuci badannya. Lalu ia pergi (salat Jumat) di awal waktu. Kemudian mendekat pada imam, mendengar (khutbah) serta diam, maka setiap langkah kakinya terhitung seperti puasa dan salat setahun.”

Seseorang yang betul-betul mempersiapkan diri dengan sebaik mungkin untuk melaksanakan ibadah salat Jumat. Mandi dengan bersih dan suci. Menggunakan pakaian yang terbaik. kemudian datang di awal waktu. Sebelum khatib berdiri. Duduk di shaf yang berdekatan dengan imam atau shaf di barisan pertama. Lalu khusyuk mendengarkan isi khutbah tanpa menyelanya. Atau mengeluarkan kalimat lain dari lisannya saat khutbah. Maka setiap langkahnya menuju masjid akan menjadi mulia. Pahala Langkah-langkah itu seperti pahala seorang yang melaksanakan puasa dan salat selama setahun. 

Hari Jumat juga menjadi utama karena menjadi waktu untuk mendapatkan predikat Husnul Khatimah di akhir hayat. Seorang manusia yang meninggal di hari Jumat, akan berbeda kualitasnya dengan meninggal di hari yang lain dalam satu pekan. Selama manusia tersebut beriman kepada Allah Swt., meyakini Tuhan Yang Satu, dan Muhammad sebagai utusanNya. Sebab Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Tidaklah seorang muslim yang mati di hari Jumat, atau malam Jum’at, kecuali Allah akan menjaganya dari siksa kubur” (HR. Tirmidzi).

Urutan yang kedua adalah hari Arafah. Pada tanggal 9 Dzulhijjah di setiap tahun hijriah. Sebab siang di hari Arafah adalah saat Allah Swt. memberikan porsi yang paling banyak untuk mengampuni hamba-hambaNya yang beriman di atas muka bumi. Bila lailatul qadar terkait dengan ibadah yang dilakukan di dalamnya, maka hari Arafah terkait dengan banyaknya ampunan yang Allah tebar di dalamnya.

Diriwayatkan dari Aisyah ra., Rasulullah pernah mengungkap keistimewaan Hari Arafah dalam sabdanya, “Tidak ada sebuah hari, saat Allah lebih banyak membebaskan seseorang dari neraka selain Hari Arafah. Saat itu (Allah) mendekat dan membanggakan mereka di depan para malaikat seraya berfirman, “Apa yang mereka inginkan?” (HR. Tirmidzi).

Imam bnu Rajab Al-Hambali menambahkan bahwa Hari Arafah adalah hari pembebasan dari api neraka. Di hari ini, Allah membebaskan dari neraka umat Islam yang melaksanakan wukuf di Arafah dan umat Islam lainnya yang tidak melaksanakan wukuf, yang berada ditempat lain. Oleh karena itu, hari setelah hari Arafah menjadi hari raya bagi umat Islam di semua tempat. Baik yang melaksanakan wukuf maupun yang tidak melaksanakannya.

Kondisi Allah saat hari Arafah yang mendekat kepada hamba-hambaNya, membuat doa yang dipanjatkan di dalamnya menjadi doa yang mustajab. Sama seperti doa saat bulan Ramadan. atau terkhusus doa saat malam al-Qadar. Dalam sebuah hadis riwayat Imam Tirmidzi dari sahabat Abdullah bin Amr ra., Rasulullah Saw. bersabda, “Sebaik-baik doa adalah doa saat Hari Arafah. Dan sebaik-baik ucapan, yang aku dan para nabi sebelumku ucapkan adalah, “Lâ ilâha illallâh wahdahu lâ syarîka lah, lahu al-mulku walahu al-hamdu wahuwa ‘alâ kulli syaiin qadîr” (Tidak ada Tuhan Selain Allah, Yang Satu, tidak ada sekutu bagiNya, Tuhan yang memiliki kerajaan dan bagiNya segala pujian. Dan Ia menentukan segala sesuatu).

Bagi orang yang melaksanakan ibadah haji, maka hari Arafah adalah hari pelaksanaan wukuf. Salah satu rukun utama yang harus dilaksanakan. Bagi yang sakit saat haji, tetap diminta untuk melaksanakannya. Bahkan disediakan kendaraan khusus seperti ambulance untuk dibawa ke Padang Arafah.

Karena bila tidak menghadiri wukuf di Arafah, seakan tidak melaksanakan ibadah haji. Sekalipun sebelumnya telah melaksanakan tarwiyah, atau setelahnya melaksanakan jumrah aqabah, tawaf ifadah, bermalam di Mina, dan manasik lainnya. Ketika Rasulullah pernah ditanya orang-orang Nejd tentang haji, Rasulullah Saw. kemudian bersabda, “Haji adalah wukuf di Arafah” (HR. Tirmidzi). Maksudnya wukuf di Arafah adalah puncak ibadah haji itu sendiri. Ia merupakan rukun utama yang tidak bisa ditinggalkan.

Adapun yang tidak melaksanakan ibadah haji, maka tanggal 9 Dzulhijjah adalah sebuah kesempatan untuk menghapus dosa selama dua tahun sekaligus. Caranya dengan melaksanakan puasa sunnah Hari Arafah. Fungsi melaksanakan puasa Arafah hampir sama seperti puasa yang dilakukan saat Ramadan. Untuk menggugurkan dosa yang telah lalu. Bedanya, puasa Arafah hukumnya sunnah dan fungsinya menghapus dosa satu tahun berselang dan satu tahun yang akan datang. Rasulullah Saw. bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, “Puasa hari Arafah, aku berharap kepada Allah menghapuskan dosa satu tahun ke belakang dan satu tahun ke depan”.

 Seorang Yahudi di Madinah pernah mendatangi Umar bin Khattab ra. kemudian memberikan saran kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin, ada satu ayat yang sering kalian baca dalam Alquran. Kalau seandainya ayat itu turun kepada kami, hari turunnya ayat tersebut akan kami jadikan hari raya. Umar ra. lantas bertanya, “Ayat apa?” sang Yahudi kemudian membacakan ayat ke 3 di surat Al-Maidah. Umar ra. kemudian menjawab, “Sesungguhnya aku sangat mengetahui kapan ayat tersebut turun dan tempat diturunkannya. Ayat itu turun saat Rasulullah sedang melaksanakan wukuf di Arafah, tepat pada hari Jumat” (HR. Bukhari dan Muslim).  

Urutan puncak atau siang yang paling utama dalam satu tahun adalah tanggal 10 Dzulhijjah. Secara khusus dalam hadis disebut dengan Yaum an-Nahr atau hari Qurban. Menurut Ibnu Taimiyah, hari Qurban menjadi hari terbaik karena keutamaannya disebutkan dalam beberapa hadis dengan jelas.

Seperti hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud dan Al-Hakim, Rasulullah Saw bersabda, “Hari yang paling agung di sisi Allah adalah hari Nahr (10 Dzulhijjah) dan satu hari setelahnya (hari saat jamaah haji Mabit di Mina yaitu tanggal 11 Dzulhijjah)”.

Tanggal 10 Dzulhijjah adalah juga hari Haji Akbar. Ini pendapat Mazhab Syafi’i, Maliki dan Hambali. Mereka berdalil dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari sahabat Abdullah bin Umar ra., Rasulullah Saw. bersabda, “Hari Nahr (10 Dzulhijjah) adalah hari Haji Akbar.”

Secara khusus dalam surat At-Taubah ayat 3, Allah Swt. menyebut tentang Hari Haji Akbar ini, “Dan satu pemberitahuan dari Allah dan RasulNya kepada umat manusia pada hari Haji Akbar bahwa sesungguhnya Allah dan RasulNya berlepas diri dari orang-orang musyrik . kemudian jika kamu (orang musyrik) bertobat, maka itu lebih baik bagimu. Dan jika kamu berpaling, maka ketahuilah kamu tidak dapat melemahkan Allah. Dan berilah kabar gembira bagi orang-orang kafir dengan azab yang pedih”.

Tanggal 10 Dzulhijjah adalah juga hari agung menurut Ibnu Taimiyah, karena bagi yang melaksanakan haji, ada amalan khusus yang terkait dengannya. Seperti melontar jumrah Aqabah, thawaf Ifadhah, dan Tahallul Sughra sebagai bagian kelengkapan manasik haji.

Lantas ibadah apa yang paling tepat untuk mengisi siang yang terbaik itu? Siang di sepuluh Dzulhijjah. Sama seperti mengisi malam yang terbaik, malam Al-Qadar dengan qiyamullail? Menurut Rasulullah Saw., ibadah yang tepat itu dengan menyembelih hewan qurban.

Itulah sebabnya, bila seseorang memiliki kecukupan, maka menurut Imam Abu Hanifah hukumnya wajib untuk menyembelih hewan qurban. Karena dalam sebuah hadis Imam Ahmad dan Ibnu Majah, Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Barangsiapa yang memiliki kelapangan (harta) namun tidak mau berqurban, maka jangan sekali-kali ia mendekati tempat salat kami”.

Walaupun mazhab mayoritas ulama dari kalangan Mazhab Syafi’I, Mazhab Maliki dan Mazhab Hambali berpendapat bahwa hukum qurban tidak menjadi wajib dan hanya sunnah muakkadah. 

Sebagaimana Ramadan, disyariatkannya puasa di dalamnya sebagai ujian ketakwaan. Maka disyariatkannya qurban di bulan Dzulhijjah, tepat di hari kesepuluh dan tiga hari tasyrik setelahnya adalah juga menjadi ujian ketakwaan. Dalam Al-Quran surat Al-Hajj ayat 37 Allah Swt. berfirman, “Daging-daging unta dan darahnya itu tidak akan pernah mencapai keridhaan Allah, tetapi ketakwaan darimu yang akan mencapainya.”

Terkait dengan ayat ini, Ibnu Abi Hatim menjelaskan bahwa orang-orang jahiliah melumuri ka’bah dengan daging-daging unta dan darahnya. Melihat hal tersebut, para sahabat Rasulullah menyatakan bahwa seharusnya, mereka yang lebih berhak untuk melumuri ka’bah dengan darah dan daging. Maka Allah menurunkan ayat ini untuk menegaskan bahwa ketakwaan yang lebih utama dan diterima Allah. Bukan hewan qurban yang disembelih. Sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang jahiliah.

Ketakwaan itulah tujuannya. Qurban hanyalah teknisnya. Ketakwaan itulah intinya. Menyembelih hewan hanyalah ritualnya. Ketakwaan itulah porosnya. Takwalah pialanya. Siang terbaik, malam terbaik, atau waktu utama lainnya, hanyalah sebuah media untuk mendapatkan piala tersebut.