Ibnu Umar ra., seorang sahabat Rasulullah Saw. pernah mencoba memban-dingkan antara pelaksanaan haji di masa Rasulullah dan haji di masanya, atau sepeninggal Rasulullah Saw.. Sekalipun masih dekat dengan masa Rasul, tapi ada pergeseran makna yang terjadi dan penghayatan nilai-nilai ibadah yang telah tereduksi. Seiring berjalannya waktu.

Mengetahui pergeseran itu, ia lantas mengatakan ungkapan yang sangat terkenal, “Begitu banyak    orang yang menjadi tamu   Allah, tapi hanya sedikit yang melaksanakan ibadah haji”.

Memahami ungkapan Ibnu Umar ini sama dengan membedakan antara orang yang hanya sekedar salat dan yang menegakkan salat.

Orang yang sekedar salat hanya memperhatikan pelaksanaan secara lahir. Bila telah melaksanakan semua gerakan salat, maka ia sudah merasa dirinya salat.

Sementara orang yang menegakkan salat memper-hatikan makna lain di luar gerakan. Yaitu keterikutan hati dalam salat yang dilaksanakannya. Dan kelurusan niat untuk mempersembahkannya hanya kepada Allah Swt..

Orang yang tegak salatnya adalah yang melibatkan fisik dan nonfisik. Sementara yang salat hanya melibatkan fisiknya.

Begitu pula perbedaan antara tamu Allah dan jamaah haji. Ibnu Umar ra. ingin mengatakan bahwa berapa banyak orang yang datang ke Mekah dan Madinah untuk melak-sanakan ibadah haji, namun hanya sedikit yang bisa dianggap menjadi haji.

Berapa banyak orang yang telah melaksanakan manasik, tapi hanya sedikit yang makin asyik beribadah setelah manasik.

Berapa banyak orang yang mengharapkan haji mabrur, namun hanya sedikit yang dosanya setelah haji terlebur.

Berapa banyak orang yang menjadi tamu di Baitullah, tapi hanya sedikit yang mendapat magfirah   Allah Swt.

Bila ungkapan Ibnu Umar itu disampaikan pada zaman sahabat, di masa generasi salaf, lantas bagaimana kira-kira dengan pelaksanaan haji kita saat ini?

Bila ungkapan itu disebutkan setelah belasan tahun saja berlalu dari masa Rasulullah Saw., lantas bagaimana bila telah berlalu 14 abad dari masa Rasulullah? Apakah bertam-bahnya tahun membuat kondisi semakin membaik? Atau justru sebaliknya.

Saya tidak bisa menjawabnya. Tapi setidaknya kita bisa mengetahui kondisi haji kita saat ini dengan meng-gunakan parameter keber-hasilan haji menurut generasi salaf.

Salah satu dari para-meter itu yang pernah disebutkan oleh Imam Hasan Al-Basry. Suatu ketika ia pernah ditanya tentang tanda seseorang menda-patkan haji yang mabrur.

Imam Hasan kemudian mengatakan bahwa haji yang mabrur itu adalah seseorang yang selesai pelaksanaan haji dan pulang ke tanah air menjadi semakin zuhud dengan dunia dan semakin cinta dengan akhirat.

Kira-kira inilah parameter sederhana untuk menilai apakah pelaksanaan haji kita saat ini lebih baik dibanding haji di zaman Ibnu Umar atau tidak?

Coba kita bandingkan kondisi diri kita sebelum haji dan setelah haji. Apakah semakin zuhud dengan dunia? Apakah semakin cinta dengan akhirat?

Bila iya, maka kita harus bergembira karena telah mendapat predikat haji mabrur. Namun bila tidak, jangan-jangan kita hanya masuk dalam kategori tamu Allah saja. Dan bukan menjadi jamaah haji.

Di dalam Al-Quran, Allah secara khusus menegur jamaah haji di zaman jahiliah karena tidak zuhud dan terbiasa membang-gakan diri.

Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 200, “Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka berzikirlah kepada   Allah, sebagaimana kamu menyebut nenek moyang kamu, bahkan berzikirlah lebih dari itu”.

Menurut Mujahid, di zaman jahiliah setelah melaksanakan manasik, masyarakat memiliki kebiasaan berkumpul di tempat melontar jumrah dan mulai membanggakan nenek moyang mereka.

Lalu Allah Swt. menegur perbuatan itu dan meminta mereka untuk mengingat  Allah sebagaimana mereka mengingat nenek moyang mereka. Bahkan kalau bisa lebih. Mengingat Allah lebih utama dibanding pelaksanaan haji mereka. Apalagi jika dibandingkan dengan mengingat nenek moyang mereka.

Pelaksanaan ibadah purna seperti haji meminta kepada pelakunya untuk lebih merenungi makna manasik. Bukan hanya melaksanakan aktivitas lahiriah saja.

Sebab aktivitas lahir hanya bersifat periodik. Hanya bisa dilaksanakan selama miqat zamani berlangsung. Atau hanya dilaksanakan dari bulan Syawal sampai bulan Dzulhijjah.

Tapi makna haji untuk menjadi hamba yang selalu mengingat Allah, mengingat hari akhir dan senantiasa zuhud selalu tercermin sepanjang tahun.

Walaupun bulan Dzulhijjah telah berganti menjadi bulan Muharram, kita tetap menjadi jamaah haji. Tetap menjadi seorang yang selalu mengingat Allah baik di tanah suci maupun di tanah air. Tetap haji dan bukan purnawirawan haji.