Oleh: H. Iswan Kurnia Hasan, Lc.MA.
 
 
Setiap memasuki hari raya Idul Adha, kita diingatkan tentang satu fragmen keteladanan dari seorang hamba. Tidak hanya teladan bagi manusia awam. Tapi menjadi qudwah bagi para Nabi dan Rasul. Bahkan Rasulullah Muhammad Saw. diminta secara khusus oleh Allah Swt. untuk meneladani hamba ini. Allah Swt. berfirman dalam surat Al-Mumtahanah ayat 04, “Sungguh telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya.”
 
Hamba itu adalah Ibrahim as., yang seluruh kisah hidupnya, sejak masa muda, menikah, melahirkan anaknya dan membersamai putranya saat dewasa, terabadikan dalam Al-Quran. Kisah anak, cucu dan cicit serta keturunan setelah itu juga terabadikan, setelah nabi Ibrahim as. wafat. Sehingga Allah Swt. secara khusus mengekalkan namanya sebagai nama salah satu surat ke 214 dalam Al-Quran. Surat Ibrahim.
 
Seakan-akan semua yang berada di sekeliling Ibrahim as. menjadi mulia dengannya. Kondisi istrinya yang secara naluriah mencarikan air buat anaknya, menjadi satu rangkaian manasik haji. Bakti anaknya untuk membenarkan mimpi yang dialaminya, menjadi ibadah terbaik pada saat hari Qurban. Bangunan yang didirikannya di sebuah lembah yang gersang menjadi pusat ibadah dan kiblat seluruh umat Islam dunia. Dan orang-orang yang melaksanakan ibadah, salah satunya dalam rangka memenuhi panggilannya.
 
Bahkan hanya bekas pijakannya saja, dijadikan salah satu tempat sunnah salat di Ka’bah setelah proses tawaf. Allah Swt. berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 125, “Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan Ka’bah tempat berkumpul dan tempat yang aman bagi manusia. Dan jadikanlah maqam Ibrahim itu sebagai tempat salat. Dan Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail untuk membersihkan Ka’bah untuk orang-orang yang tawaf, i’tikaf, serta tempat orang-orang ruku’ dan sujud”.
 
Ibrahim as. remaja adalah sosok remaja religius. Ia selalu bertanya kepada siapa sebenarnya hatinya akan dipatrikan, dan jasadnya akan dibaktikan. Terkadang ia sempat terbius dengan tantangan masa muda. Terpancing untuk menggunakan logika lebih dalam. Terhasut dengan kebenaran semu dan tidak abadi. Bertarung dengan berbagai paradigma. Namun saat ia menemukan kebenaran, Ibrahim as. kemudian tidak bergeming lagi. Allah Swt. menggambarkan pencarian hidayah yang dilakukan oleh Ibrahim as. di dalam Al-Quran.
 
“Ketika malam telah menjadi gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata “Inilah Tuhanku”. Maka ketika bintang itu memudar dia berkata, “Aku tidak suka kepada yang memudar.” Lalu ketika dia melihat bulan menyingsingkan cahayanya dia berkata, “Inilah Tuhanku.” Tetapi ketika bulan itu menghilang ia berkata, “Sungguh jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaKu pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.” Kemudian ketika dia melihat matahari terbit dia berkata, “Inilah tuhanku, ini lebih besar.” Tetapi ketika matahari terbenam dia berkata, “Wahai kaumku, Sungguh aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.” Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik. (Q.S. Al-An’am 76 s.d. 79).
 
Generasi muda seperti Ibrahim as. yang seharusnya dirindukan oleh setiap orang yang akan meretas peradaban. Sudah sewajarnya pula, bila pembinaan yang mampu melahirkan generasi seperti inilah yang digalakkan dalam setiap kepemimpinan dan kekuasaan. Pembinaan yang bertumpu pada nilai-nilai langit dan bukan nilai-nilai bumi. Pembinaan yang mampu melahirkan pahlawan sejati dan bukan kurcaci. Bertumpu pada bakti bukan ambisi. Itulah sebabnya remaja yang taat kepada agama, yang akan dijamin nantinya mendapat perlindungan Allah Swt. secara khusus di hari kiamat. Sebab remaja yang taat adalah merupakan aset bagi umat.
 
Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Ada tujuh golongan yang akan dilindungi Allah dalam lindunganNya, pada hari tidak ada perlindungan selain perlindunganNya; pemimpin yang adil, pemuda yang rajin beribadah, seorang yang hatinya selalu terpaut dengan masjid, dua orang yang saling mencintai, bertemu dan berpisah hanya karena Allah, seorang laki-laki yang diajak oleh seorang perempuan terhormat dan cantik, lalu ia berkata aku takut kepada Allah, seorang yang menyembunyikan sedekahnya, tidak ingin dilihat orang, dan seorang yang mengingat Allah dalam keheningan hingga menitikkan airmata” (HR. Bukhari dan Muslim).
 
Sosok Ibrahim as. dewasa adalah sosok kepala rumah tangga yang taat dan bertanggungjawab. Suami yang  penuh cinta kepada istri-istrinya dan ayah tersayang bagi anak-anaknya. Sejarah mencatat lebih dari 4000 tahun lalu tiga manusia agung; Ibrahim as. sang suami, Hajar sang istri dan Ismail as. kecil dalam momongan berjalan sejauh lebih dari 2000 km, atau sejauh jarak Makassar menuju Jakarta. Mereka menaklukan ganasnya sahara dari negeri Syam, yang sekarang menjadi Syria, Palestina, Jordania dan Lebanon, menuju jazirah yang juga tandus hanya karena ingin melaksanakan perintah Allah Swt..
 
Allah yang akhirnya memberikan jaminan dari pengorbanan keluarga ini. Bayangkanlah, bagaimana mereka memulai sebuah kehidupan baru di jazirah tandus yang dikatakan Ibrahim as., “Wahai Rabb kami, sesungguhnya aku telah menempatkan keturunanku di sebuah lembah yang tidak memiliki tanaman dekat rumahMu yang haram” (QS. Ibrahim ayat 36).
 
Bagaimana lantas setelah itu, 42 generasi dari anak cucu Ibrahim secara turun temurun hingga Nabi Muhammad saw. membawa agama Tauhid dan mengubah jazirah itu menjadi pusat dan pemimpin peradaban dunia selama berabad-abad. Dari sebuah lembah yang tidak berpenghuni, lalu ditinggali oleh keluarga Ibrahim as., kini menjadi negara kedua di dunia yang memiliki cadangan minyak dengan jumlah 297,6 triliun barrel.
 
Bayangkanlah, bagaimana Ka’bah yang pada mulanya hanya ditawafi tiga manusia agung itu, Ibrahim as., Ismail as., dan Hajar. Kini setiap tahunnya ditawafi sekitar 12 juta manusia. Dan akan terus bertambah dari tahun ke tahun. Bayangkanlah, bagaimana jazirah yang tandus tak berpohon itu, yang pada mulanya hanya dihuni oleh mereka bertiga, kini berubah menjadi salah satu kawasan paling kaya dan makmur di muka bumi.
 
Bayangkanlah, bagaimana Nabi Ibrahim as. datang seorang diri membawa agama samawi, melalui dua garis keturunan keluarga; satu garis dari istrinya Sarah yang menurunkan Ishak as., Ya’kub as., Yusuf as., hingga Isa as., dan nabi-nabi lainnya dari keturunan Bani Israil. Serta satu garis dari istrinya Hajar yang menurunkan Ismail as. hingga nabi Muhammad Saw..
 
Dan kini setelah lebih dari 4 millenium,  agama samawi itu, Islam, Kristen dan Yahudi dipeluk oleh lebih dari 4 milyar manusia. Kalau dibandingkan dengan jumlah penduduk yang ada di atas muka bumi pada tahun 2020, pemeluk agama samawi berjumlah lima puluh satu persen. Mengalahkan kelompok atheis dan tidak berafiliasi kepada satu agamapun. Atau agama yang lainnya, yang bukan bersumber dari langit.
 
Abbas Mahmud al-Aqqâd dalam bukunya “Ibrâhîm Abu al-Anbiyâ” (Ibrahim, Bapaknya Para Nabi) mengatakan bahwa saat ini penduduk dunia memeluk agama Yahudi, Kristen dan Islam. Ketiga agama ini dibawa oleh Nabi Musa as., Nabi Isa as., dan Nabi Muhammad Saw.. Dan ketiga nabi tersebut bersumber dari seorang Khalîl (kekasih Allah), yaitu Ibrahim as..
 
Allah Swt. berfirman, “Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, Maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam” (QS. Al-Baqarah: 132).
 
Semua ritual yang dilaksanakan dalam hari-hari Adha, baik sebelum maupun sesudahnya, baik di wilayah tempat manasik haji maupun wilayah di luar manasik haji mengacu kepada ritual Ibrahim as. dan keluarganya. Puncaknya adalah ibadah qurban yang merupakan replika pengorbanan yang pernah ditunjukkan oleh Ibrahim as. dan anaknya, Ismail as..
 
Allah Swt. berfirman dalam surat Ash-Shaffât ayat 103 sampai 108, “Maka tatkala keduanya (Ibrahim dan Ismail) telah berserah diri dan ia telah membaringkan anaknya di atas pelipisnya. Maka Kami menyerunya, “Wahai Ibrahim, sesungguhnya engkau telah membenarkan mimpi itu. Sungguh Kami akan memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar sebuah ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu (Ismail) dengan sebuah sembelihan yang besar. Dan kami abadikan pujian untuk Ibrahim dari orang-orang yang datang kemudian”.  
 
Oleh karena itu, diantara semua ibadah yang disunnahkan, ibadah qurban adalah ibadah terbaik yang ditunaikan pada saat hari raya Idul Adha. Rasulullah Saw. bersabda, “Tidak ada satu amal pun yang dilakukan seorang anak manusia pada Yaumun Nahr (hari raya ‘Idul Adha) yang lebih dicintai Allah selain mengalirkan darah (hewan qurban yang disembelih). Maka hiasilah dirimu dengan Qurban” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al-Hakim dengan sanad yang shahih).
 
Dalam bahasa Al-Quran, pengertian qurban lebih banyak diartikan sebagai persembahan. Qurb itu artinya dekat. Sesuatu yang berharga kita persembahkan dalam rangka mendekatkan diri pada Allah, itulah kurban. Ibrahim ingin mendekat kepada Allah Swt., maka ia mengorbankan anaknya. Dengan pengorbanan tersebut, Allah lantas mengangkat Ibrahim sebagai sang Khalîl atau kekasih Allah Swt.. Menjadi orang yang paling terdekat dengan Allah Swt.. “Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas berserah diri kepada Allah, berbuat baik dan mengikuti agama Ibrahim yang lurus. Dan Allah telah memilih Ibrahim sebagai kekasihNya” (QS. An-Nisâ ayat 125).  
 
Setelah Ibrahim as., cara mendekat kepada Allah Swt. lebih mudah. Sarana untuk menjadi kekasih-Nya tidak perlu mengorbankan anak yang kita cintai. Tidak seperti Ibrahim as.. Lebih praktis dan simpel. Cukup dengan membeli seekor kambing untuk qurban. Atau urunan dana bersama enam orang lainnya untuk berkurban seekor sapi.
 
Sangat mudah dan ekonomis. Tidak akan mengurangi belanja harian kita buat keluarga. Atau mengurangi budget kebutuhan informasi kita di dunia maya. Karena seorang pemulungpun bisa berqurban. Apalagi seorang karyawan swasta yang memiliki gaji tetap. Atau seorang pegawai negeri sipil yang mendapatkan banyak tunjangan dari pemerintah. Atau seorang pengusaha. Lebih mudah lagi untuk berqurban.
 
Dan semoga dengan qurban itu, Allah meretas jalan peradaban bagi diri kita masing-masing. Meretas keluarga kita sebagai keluarga salih, yang melahirkan keturunan salih sebagaimana Ibrahim as.. atau bisa lebih dari itu, menjadikan kita yang berkurban, menjadi orang-orang yang memberikan solusi bagi umat. Menjadi pahlawan bagi bangsa dan negara. Paling minimal, kita berqurban untuk menegaskan identitas taqwa kita. Allah Swt. berfirman dalam surat Al-Hajj ayat 37, “Daging – daging unta dan darahnya itu sekali- kali tidak dapat mencapai (keridhaan) allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya”.