Oleh: H. Iswan Kurnia Hasan, Lc.MA.
Ada sebuah hadis yang pernah disampaikan kepada seorang sahabat. Tapi anehnya, Rasulullah minta tidak disebarluaskan kepada yang lain. Jamak diketahui bahwa hadis adalah arahan Rasulullah bagi umatnya. Sehingga harus disebarluaskan dan diwariskan dari generasi ke generasi sampai hari kiamat. Tapi tidak untuk hadis ini. Karena dikhawatirkan akan menimbulkan akibat negatif.
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari sahabat Muadz bin Jabal ra., ia menceritakan, ”Suatu saat aku pernah membonceng keledai Rasulullah Saw., lalu beliau bersabda, “Wahai Muadz, tahukah kamu apa hak Allah atas para hambaNya dan hak para hamba atas Allah?” Aku menjawab, “Allah dan rasulNya yang lebih mengetahui”. Rasul lantas bersabda, “Sesungguhnya hak Allah atas para hambaNya adalah beribadah kepadaNya dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun. Adapun hak para hambaNya adalah Allah enggan menyiksa hamba yang tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun. Aku balik bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah aku bisa memberitahu kabar gembira ini kepada manusia? Rasul menjawab, “Jangan beritahu mereka, sebab nanti mereka akan berpasrah diri.”
Hak manusia yang harus ditunaikan kepada Sang Pencipta adalah ibadah. Bila ditunaikan dengan baik, wajib bagi Allah untuk tidak memberikan siksa. Menurut Imam Al-Baidhawy dalam kitab Tuhfah al-Abrâr, sebuah aksioma yang tidak bisa berubah yaitu mengimplementasikan ibadah bagi para hamba, adalah sebuah kemestian, dan mengimplementasikan pahala bagi Allah, adalah sebuah keharusan”.
Ibadah dalam Islam merupakan salah satu jawaban dari tiga pertanyaan besar yang berkembang di filsafat Barat dan Timur. Pertanyaan pertama, manusia berasal dari apa? Pertanyaan kedua, manusia akan kembali kemana? Serta pertanyaan ketiga, manusia hadir di dunia ini untuk apa?
Alquran menyebutkan manusia diciptakan dari tanah, sebagai jawaban dari pertanyaan pertama. Allah Swt. berfirman dalam surat Al-Mu’minun: 12, “Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari saripati tanah”.
Manusia juga akan kembali kepada Allah dan menjalani alam lain setelah alam dunia yang disebut alam akhirat. Allah Swt. berfirman, “Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main, dan kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al-Mu’minun: 115).
Inti penciptaan manusia di atas muka bumi, sebagai jawaban dari pertanyaan ketiga adalah untuk beribadah kepada Allah Swt.. Allah Swt. berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepadaKu (Allah)” (QS. Adz-Dzariyat: 56).
Secara etimologi, kata “’Abdiyah”, “’Ubûdiyyah”, atau “‘Ibâdah” dalam bahasa Arab mengandung arti taat. ‘Ibâdah juga mengandung makna loyalitas. Dalam Alquran disebutkan “Fa udkhulî fî ‘ibâdî” (QS. Al-Fajr: 30) maksudnya adalah masuk ke dalam golongan hamba-hamba Allah yang loyal. Ibadah juga bermakna tunduk dan hina.
Menurut Abu al-A’la al-Maududi, makna asal ibadah adalah tunduk total, patuh secara sempurna, dan taat yang mutlak. Terkadang, makna ini meluas. Ditambah dengan unsur perasaan, sebagai bentuk penghambaan hati, setelah penghambaan fisik. Intinya adalah penghambaan, peribadatan, dan melaksanakan syiar-syiar.
Syaikh Muhammad Abduh ketika menafsirkan ayat “Iyyâka na’budu wa iyyâka nasta’în” (hanya kepadaMu kami menyembah dan hanya kepadaMu kami meminta pertolongan), mengatakan bahwa yang membedakan antara ibadah, yang berarti taat, tunduk dan hina, dengan model taat, tunduk dan hina yang lain bukan pada kualitasnya. Tapi sumbernya.
Apabila sumbernya adalah kekuasaan, kekuatan dan sejenisnya, maka tidak bisa disebut ibadah. Sebab ada orang yang taat kepada orang lain, karena ia lebih berkuasa atau lebih kuat fisiknya. Pihak inferior yang mentaati pihak superior. Sementara bila sumbernya adalah keyakinan, bahwa yang ditaati adalah Dzat Yang Maha Agung, Maha Perkasa, inilah yang disebut ibadah.
Adapun pengertian ibadah secara terminologi pernah dibahas oleh Imam Ibnu Taimiyah. Menurutnya, ibadah selain memiliki makna tunduk, hina atau taat dengan sempurna, juga mengandung arti cinta yang utuh. Ibadah adalah suatu istilah yang mencakup semua hal yang dicintai oleh Allah dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi (batin) maupun yang nampak (lahir).
Maka shalat, zakat, puasa, haji, berbicara jujur, menunaikan amanah, berbakti kepada kedua orang tua, menyambung tali kekerabatan, menepati janji, memerintahkan yang makruf, melarang dari yang munkar, berjihad melawan orang-orang kafir dan munafiq, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil (orang yang kehabisan bekal di perjalanan), berbuat baik kepada manusia atau hewan, memanjatkan doa, berdzikir, membaca Alqur’an, termasuk bagian dari ibadah.
Begitu pula rasa cinta kepada Allah dan RasulNya, takut kepada Allah, inâbah (kembali taat) kepadaNya, memurnikan agama hanya untukNya, bersabar terhadap takdirNya, bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya, ridha terhadap ketetapanNya, tawakal kepadaNya, mengharapkan rahmatNya, takut siksaNya juga bagian dari ibadah.
Pengertian ibadah secara terminologi ini mengandung dua unsur utama yang harus ada dalam ibadah menurut Islam. Unsur taat dan tunduk, yang berarti melaksanakan semua ketentuan yang telah digariskan Allah dan RasulNya. Baik dalam bentuk perintah maupun larangan, halal dan haram, atau sejenisnya. Lalu taat dan tunduk yang bersumber dari cinta kepada Allah Swt..
Asas cinta ini adalah satu bentuk perasaan yang mengakui keutamaan, keagungan, rahmat, kesempurnaan dan semua sifat Allah yang telah disebutkan dalam Alquran dan Sunnah. Semakin mengenal Allah Swt., seeseorang akan semakin meningkat cintanya.
Ukuran kualitas dan kuantitas cinta yang diberikan makhluk, tergantung dengan tingkat pengetahuannya terhadap Sang Khalik. Allah Swt. berfirman dalam surat Fathir ayat 28, “Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah yang takut kepadaNya hanyalah para Ulama, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”.
Ibadah dalam Islam sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah mengandung semua aspek ajaran agama Islam yang meliputi: seluruh amalan fardhu atau rukun Islam, yang mencakup syahadat, salat, zakat, puasa dan haji. Kelima ajaran ini juga disebut syiar Islam yang utama. Lalu seluruh amalan sunnah, seperti zikir, istighfar, tahlil, tahmid, takbir, membaca Alquran dan lain-lain.
Juga mencakup pergaulan yang baik antara sesama manusia. Atau secara umum masuk dalam bab muamalah. Seperti berbakti kepada kedua orangtua, membantu anak yatim, bersilaturrahmi, dan lain lain.
Termasuk seluruh perbuatan baik atau akhlaq kepada sesama manusia, atau biasa disebut al-Akhlâq al-Insâniyah, dan akhlaq kepada Allah dan Rasul-Nya, atau yang biasa disebut al-Akhlâq ar-Rabbâniyah. Amar makruf dan nahi munkar, bekerja untuk mencari nafkah, hingga jihad, jinâyah dan hudûd juga bagian dari ibadah.
Menurut Ibnu Qayyim ada 50 marâtib ibadah atau jenis ibadah dalam syariat Islam. Secara garis besar terbagi ke dalam ibadah hati, lisan, indra dan fisik, serta ibadah dengan harta. Ditambah hukum yang terkait dengan masing-masing jenis. Masuk kategori ibadah yang hukumnya wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram.
Pertama, ibadah dengan hati. Bentuknya dengan mengkondisikan hati selalu mengingat Allah dalam setiap waktu dan kesempatan. Bentuk ibadah hati ada yang hukumnya wajib berdasarkan kesepakatan para ulama. Seperti ikhlas, tawakkal, sabar, takut dan cinta kepada Allah. Sementara ada yang menjadi perdebatan atas kewajibannya. Misalnya ridha dalam hati atas keputusan yang telah diberikan Allah Swt.. Ada juga hukumnya haram, seperti riya, ‘ujub, sombong dan putus asa.
Kedua, ibadah dengan lisan. Satu bentuk tunduk, taat, dan cinta kepada Allah yang dilakukan dengan lisan atau mengeluarkan suara. Ibadah dengan lisan ada yang hukumnya wajib. Seperti mengucapkan dua kalimat syahadat, mengucapkan ayat atau zikir dalam salat, menjawab salam, amar makruf dan nahi munkar. Ada yang hukumnya haram, seperti menuduh seorang muslim tanpa bukti, berdusta, atau berbicara tanpa tahu hukumnya. Ada yang hukumnya sunnah, seperti membaca al-Quran, berdzikir, atau melafazkan sesuatu yang bermanfaat buat diri sendiri dan orang lain.
Ketiga, ibadah dengan fisik. Baik diekspresikan melalui panca indra atau anggota badan manusia. Ibadah fisik bisa masuk kategori ibadah wajib. Seperti berusaha mencari nafkah yang halal untuk keluarga bagi seorang suami, melihat untuk membedakan sesuatu yang halal dan haram, atau makan dalam kondisi darurat, yang dikhawatirkan akan mengalami kematian bila tidak makan. Ada yang hukumnya haram, seperti membunuh seseorang yang diharamkan Allah untuk dibunuh, mencuri, melihat sesuatu yang diharamkan Allah, ata mendengar ghibah.
Keempat, ibadah dengan harta. Salah satu bentuk penghambaan kepada Allah dengan menggunakan harta yang kita miliki dengan kepemilikan yang sempurna atau “al-Milk at’Tâm”. Ada yang hukumnya wajib, seperti membayar zakat, membayar fidyah bagi yang tidak mampu berpuasa. Ada yang hukumnya sunnah, seperti berinfak, atau berwakaf. Ada yang hukumnya haram, seperti mengeluarkan harta untuk suap.
Dalam kondisi tertentu, ada dua atau tiga bentuk ibadah yang bisa dilaksanakan dalam satu kesempatan. Seperti melaksanakan ibadah haji. bentuk ibadah lisannya dengan melafadzkan niat ibadah haji secara jelas dan terdengar. Bentuk ibadah fisiknya dengan melaksanakan thawaf atau sa’i. Bentuk ibadah hartanya, karena haji membutuhkan uang untuk bekal selama berada di tempat ibadah haji dan uang untuk sarana transportasi menuju Baitullah. Secara otomatis penggabungan beberapa bentuk ibadah dalam satu kesempatan pelaksanaan, akan menambah keutamaan dan nilai pahala di sisi Allah.
Dalam menjalani kehidupan, sebelum ada jabatan yang diamanahkan, sebelum ada pangkat yang disematkan, sebelum ada gelar yang diberikan, sebelum ada kedudukan yang dianugrahkan, sebelum berlaku semua status keduniaan lainnya, ada yang tidak akan pernah berubah dalam diri manusia sampai akhir hayat. Status sebagai abdi di hadapan Allah.
Leave A Comment