Oleh: H. Iswan Kurnia Hasan, Lc.MA.
 
 
Ghibah memang susah dilepaskan dari seorang manusia. Tabiat sebagai makhluk sosial, mendorong manusia membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupan. Sulit bagi seorang insan hidup sendiri sepanjang hayat tanpa ada interaksi dengan sesamanya.
 
Nah, ketika berinteraksi, ghibah terkadang menjadi penghangat komunikasi. Tidak enak khan kalau kongkow-kongkow tanpa ada materinya. Dan materi yang paling hot adalah membicarakan orang lain.
 
Coba kita lihat tabiat media cetak atau audiovisual. Informasi yang paling hangat adalah informasi yang berbicara tentang seseorang. Apalagi yang dibicarakan seorang tokoh atau selebritis. Benar atau tidak faktanya, itu masalah lain. Yang penting bikin gosip dulu.
 
Maka wajar kalau tayangan-tayangan infotainment membanjir dan memiliki rating tinggi dalam dunia pertelevisian. Begitu pula gosip seputar selebriti yang dikemas dalam bentuk media cetak. Oplahnya juga tinggi. Bahkan terkesan hambar dibaca, jika sebuah media cetak tidak memuat halaman khusus tentang gosip seputar seleb.
 
Bila kenyataannya demikian, melakukan ghibah justru sangat bertolak belakang dengan arahan Allah dan RasulNya. Dalam Alquran, ghibah dianalogikan dengan aktivitas memakan bangkai manusia. Allah berfirman dalam surat Al-Hujurat ayat 12, “Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain. Dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada diantara kamu yang akan memakan bangkai saudaranya yang sudah mati?”
 
Alquran menyamakan ghibah seperti memakan bangkai manusia bukan tanpa alasan. Sebab membicarakan orang lain, apalagi yang tidak ia sukai, seakan-akan mencabik-cabik kehormatannya. Sama seperti gigi manusia yang mencabik-cabik daging bangkai yang dimakannya.
 
Rasulullah juga mencela ghibah. Walaupun yang digunjingkan itu benar adanya. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasul menegaskan bahwa ghibah adalah membicarakan sesuatu yang memang ada pada saudara kita. Sementara ia benci ketika kita membicarakannya. Bila yang kita bicarakan justru tidak benar, maka kita bukan hanya melakukan ghibah. Tapi lebih dari itu. Kita telah membuat satu kebohongan besar.
 
Lalu, apakah kita hanya berdiam diri saja kalau kumpul bareng teman? hambar dong kongkownya? Masak tidak ada obyek diskusi yang bisa menghangatkan suasana? Nggak seru dong kalau tidak ada yang digosipin?
 
Imam Nawawi memberikan kita resep jitu kalau memang tidak tahan untuk melaksanakan ghibah. Dalam bukunya “Riyâdh as-Shâlihîn” Imam Nawawi menyebutkan bahwa ghibah diperbolehkan dengan tujuan tertentu. Lalu ia menyebut enam kategori ghibah yang dihalalkan Islam. Bahkan dalam beberapa kasus, dianjurkan. 
 
Pertama, seorang yang dizalimi oleh orang lain. Islam membolehkan seorang yang dizalimi untuk menjelaskan kepada penguasa, hakim atau pihak lain, tindakan zalim yang dialaminya. Sekalipun harus mengumbar kejelekan pihak yang menzalimi.
 
Dalam surat An-Nisa ayat 148, Allah Swt. berfirman, “Allah tidak menyukai perkataan buruk (yang diucapkan) secara terus terang, kecuali oleh orang yang dizalimi. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Ayat ini mengizinkan seorang yang dizalimi, untuk menyampaikan perkataan buruk dengan jelas. Walaupun perkataan ini menyakiti orang lain. Termasuk di dalamnya ghibah.
 
Lalu seseorang yang membicarakan kejahatan orang lain, dengan tujuan untuk mencegah, agar kejahatan tersebut tidak dilakukan kembali. Tujuannya adalah nahi munkar. Seperti seorang yang terbiasa mencuri. Kemudian disampaikan kepada keluarganya untuk menasehati orang tersebut agar tidak mencuri lagi. Niat atau tujuan mencegah kemunkaran yang membuat ghibah bisa dilakukan.
 
Imam Bukhari meriwayatkan kisah antara Zaid bin Arqam ra. dan Abdullah bin Ubay, pentolan orang munafik di Madinah. Kata Zaid, “Kami pernah melakukan perjalanan bersama Rasulullah. Perjalanan di masa paceklik. Tiba-tiba Abdullah bin Ubay berkata kepada teman-temannya, “Kalian jangan menginfakkan harta kepada orang-orang yang bersama Rasulullah, sampai mereka binasa. Karena jika kita kembali ke Madinah, pastilah orang-orang yang mulia (orang munafik) akan mengusir orang-orang yang hina (Rasulullah dan para sahabatnya).”
 
Zaid bin Arqam lalu melaporkan kepada Rasulullah apa yang dikatakan Abdullah bin Ubay tersebut. Namun ketika dikonfrontir, Abdullah bin Ubay bersumpah tidak mengatakannya dan balik menuduh Zaid yang telah berbohong. “Apa yang disampaikan oleh Abdullah bin Ubay membuat saya tidak enak hati. Sampai Allah kemudian menurunkan ayat yang membenarkan saya” kata Zaid.
 
Allah berfirman dalam surat Al-Munafiqun ayat 1, “Apabila orang munafik datang kepadamu (Muhammad) mereka berkata, “Kami mengakui, bahwa engkau adalah Rasul Allah. Dan Allah mengetahui bahwa engkau benar-benar RasulNya. Dan Allah menyatakan bahwa orang-orang munafik itu benar-benar pendusta.” Ghibah terkait dengan Abdullah bin Ubay yang diceritakan oleh Zaid bin Arqam, dibenarkan Allah melalui firmanNya. Untuk mengingatkan Rasulullah, tentang tipu muslihat yang dilakukan oleh orang-orang munafik.    
 
Kategori ketiga, bila tujuannya meminta fatwa kepada ulama. dibolehkan secara detail menceritakan kejelekan orang lain. Bila jawaban yang diinginkan sangat berhubungan dengan kejelekan tersebut.
 
Dalil yang digunakan adalah kisah Hindun, istri Abu Sufyan yang curhat tentang suaminya. Aisyah ra. menceritakan bahwa Hindun Binti Utbah ra. pernah mendatangi Rasulullah Saw. lalu berkata, “Sesungguhnya Abu Sufyan lelaki yang kikir. Maka aku terpaksa mengambil darinya (untuk keperluan nafkah). Rasul lalu bersabda, “Ambillah apa yang mencukupi dirimu dan anakmu dengan cara yang baik” (HR. Bukhari dan Muslim). Hindun melakukan ghibah. Dengan mengatakan suaminya pelit. Tapi Rasulullah tidak mengecam ghibahnya Hindun. Karena dalam posisi meminta fatwa kepada Rasulullah. 
 
Keempat, ghibah tentang seseorang yang dengan nyata melakukan perkataan, atau perbuatan yang mengandung unsur kefasikan atau bidah. Misalnya orang yang biasa melakukan maksiat di depan umum. Tanpa malu-malu. Perbuatan maksiat itu bisa diceritakan. Dengan tujuan mencegah orang lain melakukan maksiat yang sama.
 
Dalam riwayat Bukhari, Rasulullah pernah ghibah tentang seorang wanita yang tidak baik. Rasulullah bersabda, “Kalau seandainya aku ingin merajam seorang wanita tanpa bukti, aku pasti akan merajam wanita ini.”
 
Kelima, bila ingin memberikan peringatan kepada orang lain. Maka aib seseorang bisa disampaikan. Seperti dalam periwayatan hadis. Boleh menjelaskan aib seseorang yang masuk dalam sanad, agar hadis yang diriwayatkannya tidak menjadi sumber hukum dan digunakan oleh orang lain. Bahkan menjadi ijma’ atau kesepakatan ulama hadis.
 
Seperti aib yang disampaikan oleh Rasulullah Saw. terhadap dua calon suami Fatimah Binti Qais ra. Dalam hadis riwayat Muslim, Rasulullah bersabda kepada Fatimah Binti Qais yang menanyakan tentang Abu Jahm dan Muawiyah, “Adapun Abu Jahm memiliki kebiasaan memukul istri. Sedang Muawiyah adalah orang miskin.”
 
Dan yang terakhir, aib seseorang boleh diumbar apabila aib itu merupakan julukan umum yang disandangnya. Seperti beberapa julukan bagi ulama yang ada di buku-buku fikih. Ada yang mendapat julukan fulan si pincang, fulanah si buta, dan lain-lain. Untuk membedakan antara satu ulama dengan ulama lain. Atau menunjukkan julukannya yang masyhur. Seperti seorang ulama terkemuka di masa tabi’in yang bernama Abu Zuhair al-Harits bin Abdullah bin Ka’ab bin Asad al-Hamdany al-Kufy. Murid sahabat Ibnu Mas’ud ra. dan Ali bin Abi Thalib ra., yang lebih dikenal dengan Al-Haris Yang Buta.
 
Di akhir keterangannya, Imam Nawawi mengatakan inilah enam ghibah yang dibolehkan dalam Islam. Mayoritas ulama Islam menyepakati enam hal ini, karena semuanya bersumber dari dalil-dalil yang shahih.