Mukaddimah Kepemimpinan Islam

Islam sebagai pokok ajaran universal yang mengatur kebahagiaan manusia dunia dan akhirat sangat memperhatikan faktor kepemimpinan. Bahkan kebersamaan di bawah satu payung pimpinan merupakan hal yang selalu dipertegas dalam banyak kesempatan. Di sebuah hadits, Rasulullah Saw. bersabda, “Apabila tiga orang keluar untuk melakukan suatu perjalanan maka hendaklah mereka mengangkat seorang di antara mereka sebagai pemimpin” (HR. Abu Daud). Bahkan dalam unsur terkecil pembentuk masyarakat yaitu keluarga,   Islam sangat mempertegas peran pemimpin.

Pemimpin juga seorang hamba yang tidak terlepas dari berbagai tuntutan penghambaan kepada Allah Swt. Ada implikasi spiritual dalam setiap tindakannya. Di mata Allah, pemimpin dan bawahan mempunyai derajat yang sama. Perbedaan keutamaan keduanya terletak pada seberapa besar aksi yang dilakukan oleh keduanya di hdapan Allah Swt.. Dalam surat Al-Mulk ayat 2, “Dan Allah yang telah menjadikan hidup dan mati untuk mencoba kamu siapa yang paling baik melakukan amal”.

Di ayat lain Allah menegaskan, “Dan beramallah kamu, maka Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman yang akan melihatnya (menilainya)” (QS. At-Taubah: 105). Dengan demikian pendekatan kepemimpinan yang dibangun oleh Islam menggambarkan bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin kerja (work leader).

Meskipun kebijaksanaan konvensional cenderung menggolongkan orang-orang yang bekerja dalam sebuah organisasi ke dalam kategori yang berbeda antara mereka yang bekerja dan mereka yang memimpin. Tetapi menurut Islam, setiap pemimpin bekerja dan setiap karyawan memimpin. Ketinggian derajat mereka di mata Allah Swt. disesuaikan dengan pelaksanaan amanah yang diberikan. Sejarah sangat mendukung pendekatan ini.

Nabi Muhammad Saw. bekerja sebagai da’i, mengajak dan menggerakkan masyarakat, memimpinnya, membuat perencanaan strategis untuk mendirikan institusi negara, memimpin, mengelola dan mengembangkannya. Di samping itu, beliau tetap sebagai masyarakat biasa, yang bekerja untuk menafkahi keluarga dan sebagai hamba terbaik di mata Allah Swt..

Ketika para pakar menganalisis hasil riset mengenai praktek lebih dari 18.000 pemimpin kontemporer di 562 organisasi bisnis, perusahaan layanan kesehatan dan jasa publik di Amerika Serikat, Kanada, Mexico dan Asia, muncul 1029 orang yang dianggap sebagai para pemimpin otentik. Orang-orang yang sangat dikagumi sesama atasan, rekan-rekan sejawat dan para bawahan mereka sebagai orang-   orang yang sangat efektif. Mereka disebut work leader (pemimpin kerja). Sebuah istilah yang menggabungkan pekerjaan dan kepemimpinan sedemikian rupa sehingga mencerminkan hakikat yang sesungguhnya dari kepemimpinan secara utuh.

Pemimpin kerja ini muncul dari garis bawah dan terjun ke garis bawah. Bersatu bersama para bawahan tanpa canggung untuk bersama mewujudkan tujuan yang telah digariskan. Dengan sendirinya pemimpin seperti ini mengetahui kondisi bawahan sehingga dapat mengatakan hal yang tepat kepada orang yang tepat pada saat yang tepat untuk melakukan pekerjaan yang tepat yang bisa diselesaikan dengan baik, tepat waktu dan sesuai dengan anggaran yang tersedia.

Nilai inilah yang ditunjukkan oleh Umar bin Khattab ra. ketika Hurmuzan datang dan ingin menyerahkan diri. Waktu itu Umar ra. sedang tertidur di masjid. Lalu ia bertanya: “Di manakah para penjaganya? Di manakah pengawalnya?” Lalu dijawab: “Ia (Umar) tidak memiliki penjaga dan tidak pula pengawal.” Hurmuzan berkata lagi: “(Kalau demikian) mestinya ia seorang Nabi.” Lalu dijawab: “(Bukan) tetapi beliau melakukan pekerjaan para Nabi.” (Ibnu Katsir, VII;87).

Kepemimpinan dalam Islam bukan sekedar pusat kedudukan atau kekuatan. Tetapi merupakan interaksi aktif yang efektif. Maka menjadi seorang pemimpin yang efektif dalam Islam harus memiliki empat hal dasar: Merupakan anggota yang baik, meyakini kapasitas dan kapabilitas masing-masing anggota, mahir berinteraksi dengan anggota dan berusaha menciptakan iklim kerja yang penuh toleransi.

Bila kita membicarakan syarat pemimpin -dalam hal ini terlepas dari syarat pemimpin yang telah digariskan oleh para fuqoha- karena batasan kita adalah syarat pemimpin efektif sesuai dengan pendekatan manajemen Islam, berikut beberapa syarat yang harus dipenuhi bagi seorang muslim untuk menjadi pemimpin efektif yang mendapat simpati dari masyarakat atau anggota dan meraih ridha Allah swt.

Pertama, berjiwa seorang pendidik (murabbî). Sarana yang paling efektif bagi seorang pemimpin adalah pendidikan. Pemimpin yang murabbî adalah yang memahami tujuan pendidikan, sasaran dan tahapannya yang secara global terdapat dalam tiga hal: pembentukan dan pembinaan, meritokrasi dan independensi serta konsistensi dan kontinuitas.

Pembentukan. Ketika sasaran pembentukan adalah manusia maka sudah menjadi kewajiban seorang pemimpin untuk memperhatikan kondisi manusia dalam tigal hal: emosional-afektif (wijdanî), kinetik-psikomotorik (harakî) dan intelektual-kognitif (fikrî). Dengan demikian pembentukan yang diinginkan adalah memberikan pengetahuan-pengetahuan tertentu dan perilaku-perilaku yang dibutuhkan dengan menggunakan sarana-sarana kinetik-psikomotorik dan intelektual-kognitif yang sesuai dengan iklim emosional-afektif yang kondusif.

Independensi. Indepensi secara sederhana berarti realisasi jati diri setiap individu yang hakiki. Namun hal ini bukan didapat dengan jerih payah pribadi. Tapi melalui monitor penuh dari seorang pemimpin. Bila independensi dan kontrol berjalan secara bersamaan akan lahir sosok bawahan yang unik. Menyatu dengan atasan dalam ide dan aksi.

Kontinuitas. Tujuan terpenting dalam fase ini adalah menjadikan individu dapat menemukan sifat kontinuitas dalam dirinya. Sehingga terpatri dalam dirinya bahwa ia adalah pewaris masa lalu dan penanggungjawab masa depan. Dengan demikian ada faktor kaderisasi yang harus selalu ditekankan oleh pemimpin kepada anggotanya.

Kedua, berjiwa pengajar (mu’allim). Pada hakekatnya terjabarkan bahwa seorang pemimpin mampu mewujudkan tujuan-tujuan pengajaran berupa, membangkitkan kemampuan, mempertajam obsesi anggota dan memotivasi mereka untuk terus berinovasi, memanfaatkan seluruh kemampuan anggota untuk selalu berkarya. Untuk itu pemimpin yang baik harus menumbuhkan dalam diri anggotanya rasa kecintaan kepada pekerjaan dengan selalu memberikan sugesti, menumbuhkan rasa bertanggungjawab dan jiwa sosial (berjamaah).

Ketiga, berjiwa organisator (munazhzhim).  Hal-hal yang perlu diorganisir oleh seorang pemimpin dapat kita gambarkan secara umum, antara lain: asistensi. Artinya memberikan kebebasan kepada para asistennya untuk menangani pekerjaan masing-masing dan mengandalkan mereka serta tidak berupaya untuk mengambil alih tugas yang telah diberikan kepada mereka. Lalu Tugas dan fungsi. Mengatur tugas berarti pendistribusiannya secara rinci untuk mencapai sasaran sesuai dengan kemampuan.

Kemudian penerbitan perintah. Selalu menjaga agar perintah yang dikeluarkan berasal dari satu sumber, baik dalam pendistribusian pekerjaan atau rincian tugas yang dilaksanakan. Selanjutnya pekerjaan. Agar selalu menjaga kekompakan kerja melalui pertemuan bergilir yang diselenggarakan bersama para bawahan sesuai dengan mekanisme yang berlaku.

Pemimpin juga mengorganisir komunikasi. Mengatur komunikasi antara pemimpin dengan bawahan sehingga terbangun arus informasi aktif antara atasan dengan bawahan. Tidak lupa instruksi tugas. Sikap pemimpin yang harus menghindari dualisme kekuasaan bagi orang yang diberi tugas, sehingga tidak ada dua pekerjaan yang ditangani oleh satu orang. Dan yang terakhir adalah pengangkatan. Yaitu penentuan asisten atau individu. Sebelum mengangkat seseorang menjadi asisten pemimpin harus bertanya dua hal: “Apakah orang ini akan produktif dalam pekerjaanya?” “Apakah produk yang dihasilkan akan baik dan berkualitas?”

Ada beberapa karakteristik yang menjadi ciri menonjol seorang dapat dikatakan efektif dalam memimpin sebuah organisasi, yayasan atau kumpulan orang yang lain, dalam tinjauan Islam.

Pertama, yakin akan tugasnya. Seorang pemimpin harus memiliki keyakinan penuh bahwa ia mampu untuk mengemban amanah yang telah diberikan anggota. Untuk itu ia harus memenuhi tiga hal: memiliki sasaran yang jelas dan mampu melaksanakannya, tenang dan mampu menahan diri, serta bertanggungjawab.

Kedua, mengenali staf dan anggotanya. Para anggota khususnya    orang-orang yang melaksanakan tugas adalah unsur terpenting yang diharapkan seorang pemimpin. Mengenal mereka lebih dalam akan menimbulkan keselarasan kerja dan membuat mereka termotivasi. Karena tabiat manusia membutuhkan perhatian dan kasih sayang orang lain. Budaya saling mengenal antara atasan dengan bawahan akan menimbulkan suasana persaudaraan. Kondisi ini membuat mekanisme pengawasan pemimpin berjalan dengan baik.

Ketiga, cekatan (mubâdarah) dan penuh inovasi (‘ibdâ’i). Dengan adanya hal ini dalam diri pemimpin setiap masalah akan diselesaikan dengan cepat dan tuntas sesuai dengan tuntutan keadaan. Bila tidak maka akan terjadi kevakuman karena pemimpin tidak memiliki ketegasan dalam bersikap.

Keempat, memberi keteladanan dan contoh. Supaya seorang pemimpin menjadi teladan dan contoh serta dapat memetik hasilnya maka ia harus memperhatikan beberapa hal, antara lain menjadi orang yang disiplin, bersikap proaktif, bersikap rendah hati (tawaddlu), bersikap realistis dan lemah lembut.